KILAS ISLAM – Tak terima kesesatan Islam Nusantara
diluruskan oleh Habib Rizieq Syihab, TV9 Nusantara sengaja memotong
ceramah Habib Rizieq dengan iklan selama 30 menit hingga ceramah Habib
Rizieq selesai. Acara tersebut merupakan siaran langsung Surabaya
bersholawat pada 13 Oktober 2015 di Tugu Pahlawan Surabaya bersama Habib
Syech bin Abdul Qadir Assegaf. Selain itu, dihadiri pula oleh Habib
Taufiq Assegaf Pasuruan dan berbagai ulama, habaib, tokoh dan kiyai se
Jawa Timur.
Di tengah-tengah acara, secara istimewa Habib Syech mempersilakan
Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab untuk mengisi ceramah Agama di depan
puluhan ribu jama’ah yang hadir. Pada Awalnya, Ceramah Imam Besar FPI
membahas tentang keutamaan Sholawat dan menangkis segala tuduhan dan
fitnah terhadap Sholawat. Setelah itu, Imam Besar FPI mengajak umat
untuk berhati-hati terhadap siapapun yang mengatakan bahwa Islam Agama
Pendatang dari Arab sehingga harus di Indonesiakan/ dinusantarakan. Tak
lama setelah Imam Besar FPI menjelaskan dalil-dalil kuat yang membantah
hal tersebut. Tiba-tiba ceramah berubah menjadi iklan.
Terhitung iklan tesebut tayang selama 30 menit. dan tercatat di
dalamnya ada iklan yang terus diulang-ulang. Ini membuktikan bahwa TV9
yang merupakan corong dan agen JIN (Jemaat Islam Nusantara) merasa
kepanasan dengan dakwah yang disampaikan dengan tegas dan Haq oleh Habib
Rizieq Syihab. Menurut informasi Jama’ah yang hadir di Surabaya, Habib Rizieq juga
sangat tegas meluruskan perkataan ngawur Said Aqil Siradj yang
mengatakan jenggot mengurangi kecerdasan dan semakin panjang semakin
goblok. Sungguh luar biasa keberanian Habib Rizieq Syihab dalam
berceramah meskipun beliau di hadapan pendukung dan pengusung Said Aqil
Siradj sebagai Calon Ketua Umum NU pada muktamar yang lalu. Akhirnya acara pun dimulai kembali oleh TV9 ketika Habib Rizieq baru
saja melap keringat pertanda telah selesai
berceramah berceramah. Sehingga, terbukti sudah bahwa TV9 melakukan
pemotongan ceramah dengan penuh kesengajaan. Hal itu semakin memperjelas
bahwa TV9 bukanlah tv Ahlussunnah namun tv yang cenderung Liberal.
Mereka menyiarkan Solawat Habib Syech hanya untuk tujuan keuntungan,
namun enggan menyiarkan dakwah yang Haq yang meluruskan yang bathil.
Seperti diketahui, TV9 Nusantara sangat getol mempromosikan ‘Islam
Nusantara’. Tokoh Liberal seperti Gus Nuril, Yenny Wahid, dan Said Aqil
Siradj sering mengisi ceramah di televisi tersebut terutama menjelang
muktamar NU ke-33 di Jombang
Belakangan ini cukup
ramai diperbincangkan tentang “Islam Nusantara”. Banyak intelektual,
ulama, politisi, dan pejabat Pemerintah yang menggunakan istilah ini
ketika membicarakan Islam. Pemantik awalnya adalah penggunaan langgam
Jawa dalam tilawah al-Quran pada saat Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi
Muhammad saw. 17 Mei 2015 lalu di Istana Negara.
Sejak saat itu perbincangan “Islam Nusantara” menghangat. Apalagi ketika
hal tersebut dikaitkan dengan opini penegakan syariah. Kalangan yang
selama ini menolak ide penegakan syariah menemukan momentum mengajak
masyarakat untuk turut dalam barisannya. Mereka mempropagandakan “Islam
Nusantara” sebagai wujud implementasi Islam terbaik, dibandingkan dengan
“Islam Timur Tengah” yang saat ini diwarnai berbagai konflik.
Bersikap Kritis
Para pengusung dan pendukung ide Islam Nusantara ini menggunakan
berbagai argumentasi untuk meyakinkan masyarakat. Banyak media massa
memberikan ruang yang cukup luas bagi mereka untuk menyampaikan idenya
tersebut. Karena itu perlu ada sikap kritis terhadap argumentasi yang
mereka kemukakan.
Pertama: konsep Islam Nusantara dianggap sebagai wujud kearifan lokal
Indonesia. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menyatakan bahwa Islam
Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai
tradisi lokal, budaya, dan adat-istiadat di Tanah Air. Menurut Said,
Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah.
Islam Nusantara, tegasnya, adalah Islam yang khas ala Indonesia
(Republika.co.id, 10/03).
Hal senada dikemukakan oleh Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurut dia, fikih atau paham
keberagaman yang tumbuh dalam masyarakat padang pasir dan bangsa maritim
serta pertanian yang hidup damai, jauh dari suasana konflik dan perang,
memerlukan tafsir ulang. Karena itu menurut Komaruddin, beberapa daerah
di Nusantara ini para wanitanya sudah biasa aktif bertani di sawah
untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka sulit disuruh mengganti pakaian
adatnya dengan pakaian model wanita Arab. Di Amerika, dia menambahkan,
telah terjadi Amerikanisasi Islam dan di Eropa terjadi Eropanisasi Islam
(Koran Sindo, 10/04).
Argumentasi seperti ini sangat lemah. Pasalnya, al-Quran diturunkan oleh
Allah SWT sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak ada
kekhususan bagi orang Arab, Eropa, Asia, dan sebagainya. Tentu kesalahan
sangat fatal jika Islam disejajarkan dengan adat istiadat dan budaya
sehingga menganggap ajaran Islam dapat disesuaikan dengan budaya lokal.
Untuk hal yang sifatnya mubah tentu saja Islam bisa mengakomodasi budaya
daerah selama tidak menyalahi syariah. Misalnya, memakai kopiah pada
saat shalat dibolehkan sebagaimana sorban, karena hal tersebut hukumnya
mubah. Namun, memakai jilbab (milhafah [baju kurung/abaya]) merupakan
kewajiban bagi setiap Muslimah yang akil balig (lihat: QS al-Ahzab [33]:
59). Karena itu jilbab tidak boleh diganti dengan sarung dan kebaya
karena pertimbangan budaya lokal di daerah maritim dan agraris, seperti
yang diargumentasikan oleh Komaruddin.
Perlu pula ditegaskan bahwa Islam bukan produk budaya Arab. Meskipun
al-Quran dan al-Hadits berbahasa Arab, isinya bukan budaya Arab,
melainkan perintah Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Karena itu
sistem peradilan Islam, sistem pendidikan Islam, hingga sistem
pemerintahan Islam berupa Khilafah Islamiyah bukanlah produk budaya
Arab. Semua itu merupakan perintah Allah SWT yang termaktub dalam
al-Quran dan al-Hadits.
Kedua: Islam Nusantara dianggap sebagai perwujudan Islam yang bersifat
empirik. Guru Besar Filologi Islam UIN Jakarta, Oman Fathurrahman,
menyatakan bahwa Islam Nusantara itu adalah Islam yang empirik dan
distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi,
penerjemahan dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial,
budaya, dan sastra di Indonesia (Nu.or.id, 22/04). Hal tersebut dia
kemukakan pada acara Pra-Muktamar ke-33 NU di Makassar, Sulawesi
Selatan, Rabu (22/04) yang lalu.
Argumentasi Oman tersebut tidak sesuai dengan realita. Faktanya, di
dalam Islam, sesuatu yang bersifat normatif tidak terpisah dengan
empiriknya. Misalnya, secara normatif setiap Muslim harus taat kepada
Allah SWT secara totalitas. Kemudian Rasulullah saw. menjelaskan secara
empirik supaya sifat normatif ini bisa diimplementasikan, yaitu melalui
penegakan institusi Daulah Islamiyah di Madinah untuk menerapkan syariah
Islam secara kaaffah.
Artinya, agar setiap Muslim bisa taat kepada Allah SWT secara totalitas
maka syariah Islam harus diterapkan secarakaaffah. Untuk menerapkan
syariah secara kaaffah diperlukan institusi negara. Alasannya, banyak
hukum syariah yang tidak bisa dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya
negara, misalnya sistem peradilan Islam, sistem pendidikan Islam, sistem
ekonomi Islam, sistem politik luar negeri, dan sebagainya. Karena itu
sesuatu yang normatif dalam Islam (fikrah/konseptual) tidak terpisah
dengan empiriknya yaitu metode (thariqah) untuk menerapkan fikrah/konsep
tersebut.
Ketiga: Islam Nusantara dianggap sebagai bentuk alternatif untuk
menampilkan wajah Islam yang lebih “moderat” dan “toleran”. Hal ini
sebagai reaksi terhadap kondisi Timur Tengah yang saat ini diwarnai
konflik berkepanjangan. Karena itu menurut mereka, Timur Tengah tidak
layak dijadikan acuan keberislaman kaum Muslim. Justru Indonesialah,
menurut mereka, yang semestinya menjadi kiblat peradaban Islam karena
Islam di Indonesia dianggap lebih moderat dan bisa diterima oleh banyak
pihak. Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya di Kongres Umat Islam
Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Yogyakarta pada Senin (09/02)
lalu juga menyerukan agar Islam di Indonesia mampu menjadi teladan dan
rujukan bagi peradaban dunia.
Argumentasi seperti itu tidak tepat. Pasalnya, kondisi Timur Tengah yang
terus bergolak sesungguhnya bukan karena faktor Islam. Wilayah ini
terus memanas karena strategi penjajah Barat. Timur Tengah selama ini
telah menjadi arena pertarungan kepentingan antara Inggris, Amerika,
Rusia dan Prancis. Sebagai contoh, konflik yang sedang terjadi di Yaman
sekarang ini. Konflik tersebut sebenarnya bukanlah konflik Syiah-Sunni,
tetapi pertarungan Amerika dengan Inggris untuk merebut kue kekuasaan di
Yaman. Karena itu mengaitkan konflik Timur Tengah dengan sikap
keberislaman kaum Muslim di sana merupakan tindakan naif dan
diskriminatif. Tindakan ini telah menutup mata terhadap apa yang telah
dilakukan negara-negara penjajah di wilayah tersebut.
Keempat: Islam Nusantara dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk
membendung bahaya Islam Trans-Nasional. Argumentasi ini tidak ada
realitanya dan a-historis. Mereka seakan lupa bahwa Islam sendiri
berasal dari Timur Tengah, bukan ‘produk’ asli Indonesia. Kalau mereka
konsisten mestinya shalat, shaum, zakat dan haji mereka sebut juga
sebagai produk Trans-Nasional. Sejarah juga mencatat, bahwa Islam masuk
ke negeri ini dibawa oleh ‘orang luar’ yaitu Wali Songo. Jadi Islam itu
memang sejak dulu bersifat Trans-Nasional, mulai didakwahkan secara
lintas negeri dari pusat Daulah Islamiyah di Madinah hingga akhirnya
menembus wilayah Romawi, Persia, Afrika Utara, Eropa, Asia dan
seterusnya hingga di Nusantara ini.
Faktanya, tidak ada yang salah dengan Islam Trans-Nasional sehingga
harus dibendung dengan Islam Nusantara. Memang demikianlah semestinya
karakteristik dakwah Islam yang harus diemban oleh kaum Muslim ke
seluruh dunia, melintasi sekat-sekat wilayah geografis. Justru ide Islam
Nusantara yang bersifat kewilayahan terbatas itulah yang berbahaya
karena pada akhirnya akan mengerdilkan Islam itu sendiri.
Bahaya Terselubung
Paling tidak ada tiga bahaya yang perlu dicermati. Pertama: ide Islam
Nusantara pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses sekularisasi
pemikiran Islam yang telah digelorakan sejak tahun 80-an oleh Nurcholis
Madjid. Ide Islam Nusantara itu tidak lebih dari sekularisasi yang
diberi warna baru. Di dalam bukunya, “Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan” (Mizan, 1987), Nurcholis Madjid menyerukan untuk
membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap
ajaran agama lain dan budaya keindonesiaan. Ini persis sama dengan
argumentasi pengusung ide Islam Nusantara yang mempropagandakan
keterbukaan dan toleransi terhadap agama dan budaya di Nusantara.
Ini merupakan bukti bahwa upaya sekularisasi terhadap Islam tidak pernah
berhenti, terus berlanjut hingga kini. Ide Islam Nusantara adalah salah
satu bentuk upaya tersebut. Buku-buku yang mempropagandakan paham
sekularisme, pluralisme dan liberalisme juga terus diterbitkan. Di
antaranya adalah buku “Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang
Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme” yang diterbitkan oleh LSAF dan
Paramadina, 2010. Pada buku tersebut dituliskan bahwa ketiga paham
tersebut, yakni sekularisme, pluralisme dan liberalisme wajib
dikembangkan di Indonesia sebagai prasyarat mutlak tegaknya demokrasi di
Indonesia. Padahal sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis)
telah difatwakan haram oleh MUI.
Lebih dari itu, sekularisasi di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim
lainnya didukung oleh negara-negara Barat, khususnya AS. Ini karena
mereka berkepentingan untuk melanggengkan ideologi Kapitalisme di
negeri-negeri Muslim sekaligus menyingkirkan ideologi Islam sebagai
rival utamanya. Tentu kita masih ingat, Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam (CLD KHI) yang dulu sempat kontroversial karena isinya
melanggar syariah itu. CLD KHI didanai oleh The Asia Foundation (TAF)
sebesar Rp 6 miliar.
Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, saat
diwawancarai Majalah Hidayatullah Desember 2004, mengaku dapat kucuran
dana sebesar 1.4 miliar rupiah pertahun dari TAF untuk tujuan mendorong
politik sekular di Indonesia. TAF yang bermarkas di San Fransisco itu
merupakan lembaga internasioanal yang menjadi payung dana bagi
pengembangan ide pluralisme, liberalisme, sekularisme dan HAM.
Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM
ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia.
Kedua: ide Islam Nusantara berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan
kaum Muslim. Antar negeri Muslim akan dipecah-belah melalui isu
kedaerahan, ada Islam Nusantara, Islam Timur Tengah, Islam Turki, dan
sebagainya. Ini merupakan politik belah-bambu atau stick and carrot yang
memang merupakan strategi penjajah untuk melemahkan kaum Muslim.
Sebagaimana diketahui, mereka juga telah membuat kutub kaum Muslim
melalui pelabelan modernis-tradisionalis, radikal-moderat,
spiritual-politik, kultural-struktural,
formalis/literalis-substansialis, termasuk Islam esoteris (Islam
hakikat) dengan Islam eksoteris (Islam syariah).
Selanjutnya mereka memberikan dukungan baik opini maupun dana bagi
kelompok-kelompok liberal, modernis, moderat, esoteris dan sebagainya,
sekaligus menekan kelompok-kelompok yang mereka beri predikat
fundamentalis, radikal, eksoteris dan sebagainya. Mereka juga memberikan
ruang politik, publik dan ketokohan kepada mereka yang pro Barat-AS
sekaligus menyempitkan ruang politik dan publik bagi mereka yang pro
syariah dan Khilafah. Mereka pun melakukan stigmatisasi terhadap ide
syariah dan khilafah. Misalnya mengidentikkan gerakan syariah dan
Khilafah sebagai sumber anarkisme dan berpotensi menyulut konflik
horisontal di masyarakat yang tidak cocok dengan kultur di Nusantara.
Strategi ini termasuk salah satu yang direkomendasikan oleh Ariel Cohen
kepada AS dalam menghadapi gerakan Islam yang mengusung syariah dan
khilafah. Cohen pernah mempublikasikan hasil risetnya itu yang dibiayai
oleh The Heritage Foundation dengan judul ‘Hizb ut-Tahrir: An Emerging
Threat to U.S. Interests in Central Asia’ (lihat: www.heritage.org).
Menurut Cohen, salah satu cara melawan kelompok Islam radikal adalah
dengan cara membenturkan kelompok tersebut dengan kelompok Islam
moderat.
Ketiga: ide Islam Nusantara dapat pula digunakan untuk menghadang upaya
penegakan syariah dan Khilafah. Potensi ideologi Islam melalui penegakan
syariah dan Khilafah telah lama menjadi perhatian serius para peneliti
politik di AS. Keseriusan ini digambarkan oleh Fawaz A Gergez, Guru
Besar Sarah Lawrence College, dalam bukunya ‘America and Political
Islam’ (1999). Prediksi NIC yang meramalkan Khilafah sebagai salah satu
fenomena utama dunia di tahun 2020 juga menunjukkan perhatian think tank
AS terhadap kemungkinan munculnya kekuatan Islam pada masa mendatang.
Tentu hal ini tidak akan dibiarkan oleh Pemerintah AS sebagai informasi
semata, tetapi akan dijadikan sebagai basis kebijakan politik luar
negeri AS dalam membendung segala arus yang membawa potensi kembalinya
Khilafah.
Penutup
Sebagaimana diketahui, negara-negara kapitalis penjajah dan para
pendukungnya berupaya memberikan citra negatif terhadap syariah Islam
dan Khilafah secara sistematis. Syariah dan Khilafah digambarkan sebagai
sesuatu yang membahayakan negeri Muslim, termasuk Nusantara ini. Tentu
sekecil apapun celah yang bisa digunakan untuk menghadang tegaknya
Khilafah akan mereka dukung, termasuk ide Islam Nusantara yang bermuatan
sekularisme itu. Penyebaran sekularisme tentu akan menjadi jalan paling
mulus bagi AS untuk melanggengkan hegemoninya di negeri-negeri Muslim,
termasuk di Indonesia ini.
Kaum Muslim harus menyadari pula bahwa kelompok-kelompok liberal yang
eksis saat ini tidak lebih dari mesin politik untuk kepentingan penjajah
AS dan sekutunya. Berkedok semboyan memajukan atau mencerahkan Islam,
mereka berupaya menyeret generasi Muslim menjadi peluru penjajah. Isu
utama yang mereka angkat selalu disesuaikan dengan isu-isu yang yang
diusung AS dan sekutunya. Kelompok liberal di negeri ini bersama Asia
Foundation, Heritage Foundation, dan Rand Corporation, gencar menyerang
ide syariah dan Khilafah dengan menganggap syariah dan Khilafah sebagai
ancaman bagi Nusantara. Sebaliknya, perilaku moral yang rendah, seperti
menjamurnya pornografi dan pornoaksi di area publik akibat liberalisme,
juga kesengsaraan ekonomi yang diakibatkan oleh rusaknya sistem ekonomi
kapitalis, tidak direspon sebagai isu utama oleh mereka. Kucuran dana
besar dari penjajah memang cukup ampuh untuk menciptakan para komprador
yang makin mengering akal dan nuraninya.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Dr. M. Kusman Sadik]
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agustrisa000/bahaya-di-balik-ide-islam-nusantara_55a06cb4789373a20d75735c
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agustrisa000/bahaya-di-balik-ide-islam-nusantara_55a06cb4789373a20d75735c